INDIVIDU DAN KELUARGA PERSPEKTIF ISLAM
(Ditinjau dari Perolehan, Kepemilikan dan Pengelolaan Harta)
Ahmad Ajib Ridlwan
Asikin Ashar
Pendahuluan
Manusia hidup dengan segenap fitrah yang ada didalam dirinya yang diciptakan allah bersama proses kelahirannya. Salah satu bentuknya adalah berbagai macam kebutuhan dalam dirinya. Tanggung jawab manusia adalah memenuhi kebutuhan itu dengan benar agar supaya dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Allah telah menyediakan berbagai macam bentuk barang di alam semesta ini agar manusia terdorong untuk memanfaatkan baik secara langsung atau tidak langsung semua itu memenuhi kebutuhan manusia demi kemaslahatan hidupnya. Karena harta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dan usaha manusia adalah sarana untuk memperoleh harta, maka harta adalah dasar dari manfaat, sedangkan usaha manusia adalah sarana untuk memperoleh harta, memiliki dan menggunakan harta tersebut.
Salah satu perkara mendasar dalam ekonomi adalah mengenai kepemilikan. Perbedaan yang mendasar dari kapitalisme dan sosialisme juga terletak pada konsep kepemilikan. Kapitalisme menekankan pada kepemilikan individu (individualism), sementara sosialis menekankan pada kepemilikan bersama (kolektivisme). Berikutnya konsep ini akan menentukan tatanan dalam pemanfaatan kepemilikan karena “siapa” memanfaatkan “apa” sangat ditentukan oleh “apa” itu milik “siapa” dan bagaimana cara memperolenya, memilikinya dan memanfaatkannya yang kita ketahui ini merupakan pertanyaan yang mendasar yang sering kita jumpai setiap mempelajari ekonomi konvensional.
Berbeda dengan ekonomi konvensional, system ekonomi islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai harta. Harta pada hakekatnya adalah milik allah.
$¯Rr& $uZö;t7|¹ uä!$yJø9$# ${7|¹ ÇËÎÈ §NèO $uZø)s)x© uÚöF{$# $y)x© ÇËÏÈ $uZ÷Kt7/Rr'sù $pkÏù ${7ym ÇËÐÈ $Y6uZÏãur $Y7ôÒs%ur ÇËÑÈ $ZRqçG÷yur WxøwUur ÇËÒÈ t,ͬ!#ytnur $Y6ù=äñ ÇÌÉÈ ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ $Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”. (QS ‘Abasaa : 25-30)
Meskipun semua benda itu milik allah dan dicipyakan untuk kholifahnya dibumi dalam hal ini adalah manusia, namun tidak semua barang tersebut bebas dimilikinya. Ada peraturan yang mengatur bagaimana manusia dapat memperoleh, memiliki dan pemanfaatannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep kepemilikan harta yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :
1) Bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan (al-milkiyah)?
2) Bagaimana pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki (tasharruf fil milkiyah)?
Pembahasan
A. Perolehan Harta dalam Islam
Untuk memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara’(hukum ALLAH)
1. Dengan bekerja, bekerja baik mandiri atau bekerja untuk orang lain
Kerja atau amal menurut Islam dapat diertikan dengan makna yang umum dan makna yang khusus. Amal dengan makna umum ialah melakukan atau meninggalkan apa jua perbuatan yang disuruh atau dilarang oleh agama yang meliputi perbuatan baik atau jahat. Perbuatan baik dinamakan amal soleh dan perbuatan jahat dinamakan maksiat. Adapun kerja atau amal dengan maknanya yang khusus iaitu melakukan pekerjaan atau usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak bagi proses kegiatan ekonomi seluruhnya. Kerja dalam makna yang khusus menurut Islam terbahagi kepada kerja yang bercorak jasmani (fizikal) dan kerja yang bercorak aqli/fikiran (mental)
Dari keterangan hadis-hadis Rasulullah (s.a.w), terdapat kesimpulan bahawa konsep kerja menurut Islam adalah meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syara’ sebagai balasan kepada upah atau bayaran, sama ada kerja itu bercorak jasmani (fizikal) seperti kerja buruh, pertanian, pertukangan tangan dan sebagainya atau kerja bercorak aqli (mental) seperti jawatan pegawai, baik yang berupa perguruan, iktisas atau jawatan perkeranian dan teknikal dengan kerajaan atau swasta. Antara hadis-hadis tersebut ialah:
"Tidaklah ada makanan seseorang itu yang lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil usaha tangannya sendiri". (Riwayat al-Bukhari)
Selain daripada itu para sahabat menggunakan perkataan pekerja (amil) untuk jawatan orang yang ditugaskan menjadi petugas pemerintahan umpamanva kadi, gabenor dan sebagainya. Oleh yang demikian segala kerja dan usaha yang dibolehkan oleh syarak baik yang bersifat kebendaan atau abstrak atau gabungan dan kedua-duanya adalah dianggap oleh Islam sebaga "kerja". Segala kerja yang bermanfaat Islam dan yang sekecil-kecilnya seperti menyapu longkang hingga kepada yang sebesar-besarnya seperti menjadi menteri atau kepala negara adalah merupakan kerja atau amal sekalipun ianya berlainan peringkat dan kelayakan yang diperlukan untuknya. Berdasarkan konsep ini maka menurut pandangan Islam, masyarakat seluruhnya dan semua peringkat adalah pekerja.
Oleh yang demikian konsep kerja seperti ini membawa implikasi sosial yang penting, antaranya:
1) Bahawa asal manusia adalah sama sebagai manusia dan pekerja yang mempunyai kemuliaan dan kehormatan sekalipun perbezaan itu tidaklah merupakan keistimewaan satu pihak terhadap yang lain.
2) Para pekerja bukanlah hanya satu kelompok dari masyarakat, bahkan mereka adalah semua anggota masyarakat. Jadi mengikut konsep Islam bahawa masyarakat itu adalah tersusun atau terbentuk dari kerjasama antara sesama para pekerja di dalamnya, bukan terdiri dari kumpulan para pekerja dan para majikan seperti yang difahami menurut sistem ekonomi komunis atau kapitalis.
Dalam memperoleh harta kita diperintahkan untuk mencari yang halal dan baik. Sebagaimana firman Allah SWT
(#qè=ä3sù $£JÏB ãNà6s%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ (#rãà6ô©$#ur |MyJ÷èÏR «!$# bÎ) óOçFZä. çn$Î) tbrßç7÷ès? ÇÊÊÍÈ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. “ (Q.S Annahl ayat 114)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya". [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Mengingat pentingnya perolehan harta yang hala, ada 3 hal yang harus kita lakukan.
1) Perencanaan
Dengan melakukan perencanaan yang matang terhadap masalah sumber keuangan dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita akan terhindar untuk melakukan pengumpulan uang dengan jalan yang tidak di ridloi oleh Allah.
2) Berusaha
Dengan perencanaan yang matang tadi, terus kita praktekkan dalam bentuk
usaha yang benar-benar untuk mencari rezki yang halal. Ketika niat kita sudah kuat dan bulat, maka seberat apapun tantangan dalam hidup akan dapat teratasi.
3) Doa
Dalam waktu yang bersamaan kita juga harus selau ingat kepada Allah dengan
memperbanyak doa agar dipermudah dan diberkati usaha kita.
Dampak Perolehan Harta yang Halal
1) Membentuk Keluarga Yang Sakinah Mawaddah Warohmah
Andaikata sesuatu yang kita makan berasal dari rezki yang halal maka dalam kehidupan akan terasa tenang. Berbeda dengan orang yang memakan dari rezki yang haram dalam sehari-harinya, keluarga akan berantakan walaupun kaya dalam materi. Maka jangan menyalahkan kepada anak-anaknya, ketika nantinya menjadi anak yang susah diatur dan durhaka kepada kedua orang tua. Karena memang sumbernya berasal dari sesuatu yang tidak diridloi oleh Allah. Banyak kasus kalau kita melihat fenomena dalam kehidupan dimasyarakat, anak berani kepada orang tua. Itu tidak lain adalah dampak daripada rezki haram yang mereka makan dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah telah bersabda: “ Tiada mendatangkan faedah bagi daging yang tumbuh dari sumber yang haram, melainkan nerakalah tempat yang sewajarnya bagi daging itu.” (HR Imam Turmudzi)
2) Hidup lebih terarah
Dengan rezki yang halal akan menjadikan kehidupan kita semakin nikmat dan terarah. Menerima apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita tanpa harus terus melihat keatas dalam masalah harta. Ketika hati kita selalu berpikir masalah kekayaan, maka yang terpikir adalah bagaimana memperoleh sesuatu yang belum ada pada diri kita, tanpa melihat kenikmatan yang telah kita terima.
2. Melalui Warisan
Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Pengertian Harta Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.
Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16) "...
“Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
3. Wakaf
Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata wakaf tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, wakaf berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Dari beberapa definisi wakaf dari buku fiqih, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.
1) Orang yang berwakaf (al-wakif).
2) Benda yang diwakafkan (al-mauquf).
3) Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
4) Lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Orang yang Berwakaf
Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif) ada 4:
1) Orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki.
2) Orang yang berwakaf mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3) Orang yang berwakaf mestilah baligh.
4) Orang yang berwakaf mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
B. Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dan hak milik
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan untuk produksi namun tidak memberikan hak itu secara absolute(mutlak). Penekanan pembatasan hak milik absolute, Al-Qur’an menunjukkan pola masalah penciptaan sumber-sumber ekonomi bagi Allah terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an QS. 13:3; 67:15; 3:180; 4:5; 35:29; 35:30; 3:180; 28:77; 42:36).
Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan Syari’ah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis Syari’ah.
Bentuk-bentuk Hak Milik Pribadi Dalam Islam
Hak kepemilikan pribadi menurut pandangan (fiqh) Islam berbeda dengan system kapitalis maupun sosialis. Salah satu pembeda yang paling pokok dalam hal ini adalah karakteristik peduli social dalam system kepemilikan social.
Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi, menghalalkan manusia untuk menabung, menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan bekerja, tetapi Islam member pula berbagai aturan dan tekanan peduli social pada individu pemilik, jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan dampak negative terhadap orang lain.
a. Pembatasan Penggunaan Penggunaan Hak milik Pribadi Dalam Islam
Islam hadir memperbolehkan kepemilikan Individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu yang memperhatikan kaidah fitrah manusia, bukan dengan cara perampasan. Di dalam kepemilikan atas suatu zat tertentu, bukanlah semata-mata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh Syar’I, serta diperbolehkan oleh Syar’I untuk memiliki zat tersebut.
b. Pengembangan Kepemilikan
Menurut Islam harta pada hakikatnya adalah hak milik Allah. Namun karena Allah telah menyerahkan kekuasaannya atas harta tersebut kepada manusia, maka perolehan seseorang terhadap harta itu sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta mengembangkan harta. Sebab, ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan dan terikat dengan hukum-hukum syara’, bukan bebas mengelola secara mutlak. Alasannya, ketika dia mengelola hartanya dengan cara yang tidak sah menurut syara’, seperti menghambur-hamburkan, maksiat, dan sebagainya. Maka Negara wajib mengawalnya dan melarang untuk mengelolanya serta wajib merampas wewenang yang telah diberikan Negara kepadanya.
Dengan demikian, mengelola harta dalam pandangan Islam sama dengan mengelola dan memanfaatkan zat benda. Dan system ekonomi Islam tidak membahas tentang pengembangan harta melainkan hanya membahas tentang pengembangan kepemilikannya.
Perbandingan Hak Milik Pribadi Dalam Ekonomi : Islam, Kapitalisme, Sosialisme
Kepemilikan Pribadi merupakan darah kehidupan bagi kapitalisme. Oleh karena itu, barang siapa yang menguasai factor produksi, maka ia akan menang. Demikian moto Kapitalisme. Ekonomi kapitalisme berdiri berlandaskan hak milik khusus atau hak milik individu. Ia memberikan kepada setiap individu hak memiliki apa saja sesukanya dari barang-barang yang produktif maupun yang konsumtif, tanpa ikatan apapun atas kemerdekaannya dalam memiliki, membelanjakan, maupun mengembangkan dan mengekploitasi kekayaannya.
Sementara dalam Sosialisme: setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Ekonomi ini mengedepankan pada hak milik umum atau hak milik orang banyak yang diperankan oleh Negara atas alat-alat produksi, tidak mengakui hak milik individu,kecuali hal-hal yang berlainan dengan dasar pokok yang umum itu. Negaralah pemilik satu-satunya alat produksi, semua rencana dan pengabdian yang berguna bagi seluruh bangsa. Orang tidak memiliki hak-hak, kecuali yang diakui dan memenuhi syarat terpeliharanya orang banyak.
Sistem Ekonomi Islam memiliki sikap yang tersendiri terhadap hak milik. Ekonomi Islam menganggap kedua macam hak milik pada saat yang sama sebagai dasar pokok bukan sebagai pengecualian. Hak milik dalam Ekonomi Islam, baik hak milik khusus maupun hak milik umum, tidaklah mutlak, tetapi terikat oleh ikatan-ikatan untuk merealisasikan kepentingan orang banyak dan mencegah bahaya, yakni hal yang membuat hak milik menjadi tugas masyarakat.
C. Konsep Kepemilikan Pengelolaan Harta Kekayaan
Konsep kepemilikan harta kekayaan
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam. Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya cara memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram).
Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta. Di dalam sistem ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property). Yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu. Berbeda dengan itu di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian Sistem Ekonomi Kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda lagi dengan Sistem Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan negara (state property). Menurut Sistem Ekonomi Islam, jenis kepemilikan umum khususnya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan individu.
Konsep Pengelolaan Harta Kekayaan
Perbedaan lainnya antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan harta, baik dari segi nafkah maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, harta yang telah dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi) ataupun di kembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.
Sedangkan menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang. Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam.
Menggunakan atau membelanjakan kekayaan yang diperoleh (infaq) atau yang dikenal dengan istilah ekonomi sebagai pengeluaran.Keduanya harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan aturan-aturan Syari'ah seperti yang disebutkan dalam buku politik Ibnu Sina bahwa hidup manusia harus diperoleh dengan cara yang benar dan baik, dan jauh dari sifat tamak dan pelit dan dari keinginan yang tamak dan rakus. Oleh karena itu, kekayaan atau pendapatan yang diterima harus mengikuti syariat yang dinyatakan dalam Qur'an dan hadits.
Dari sisi i n f a q (pengeluaran), Ibnu Sinā juga menjelaskan jenis-jenis infaq dengan pernyataan sebagai berikut: Jika manusia memperoleh kekayaan hanya dengan cara yang baik, maka ia harus membelanjakan atau mengeluarkan sebagian dari kekayaannya untuk shodaqoh, zakat, kebajikan yang baik (al-ma’ruf ), dan sebagian yang lain harus disimpan
untuk masa depan dikarenakan peristiwa-peristiwa mendesak yang terjadi berlaku pada masa itu.
Dengan kata lain, di bawah naungan Tauhid, manusia bisa mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Sisa pendapatan atau kekayaannya harus digunakan untuk amal di jalan Allah, atau diinvestasikan kembali dalam bisnis. Dalam al-Qur'an Allah SWT berfirman: "... mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka nafkahkan: Katakanlah:. Kelebihan (dari apa yang diperlukan) ..."
Penjelasan ayat ini menurut Yusuf Ali bahwa kita harus menggunakan harta yang sesuai dengan kebutuhan dan kelebihan yang lain kita harus keluarkan untuk pekerjaan yang baik dalam bentuk zakat, sedekah dan bantuan-bantuan yang lain. Konkritnya, masyarakat Muslim harus mendapatkan dan mengeluarkan harta atau kekayaannya sesuai dengan cara-cara yang islami. Ini akan memberikan manfaat bagi mereka di dunia maupun akhirat. Sebaliknya di zaman modern ini banyak orang-orang yang memperoleh kekayaannya dengan cara yang salah seperti korupsi, perjudian, dan penipuan. Efeknya bagi pengeluaran akan digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfat. Mereka yang melakukan perbuatan yang salah ini akan dihukum di dunia nyata maupun akhirat. Sebagai contoh, mereka yang kalah dalam perjudian akan dihukum dalam bentuk hukuman kemiskinan, masalah keluarga dan hidup yang tidak nyaman. Selanjutnya, mereka akan dihukum dalam bentuk siksaan yang sangat berat dari Allah SWT di akhirat nanti.
Pengeluaran adalah kekayaan atau penghasilan yang dihabiskan untuk konsumtif maupun tabungan. Menurut Ibnu Sinā, infaq (pengeluaran) dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1) I n f a q (pengeluaran) yang digunakan untuk manusia itu sendiri dan keluarganya tanpa adanya kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Hal ini disebut sebagai infaq ijtimā'I atau'a m.
2) I n f a q (pengeluaran) yang digunakan untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma'ruf), shodaqoh, dan zakat. Hal ini disebut sebagaii n f a q atau Khas Dīni.
3) A l - i d d i k h ā r (tabungan) yang digunakan untuk mempredeksi kejadian-kejadian yang terjadi di masa mendatang seperti bencana, kecelakaan, atau kebutuhan mendesak lainnya.
Kategori pertama menjelaskan bahwa manusia harus menggunakan pengeluaran konsumtifnya (nafaqah) secara ekonomis. Pada saat itu, pengeluaran ini harus dikoreksi dan direformasi dari masalah pemborosan dan kekikiran. Manusia rasional harus menyetujui pemahaman masyarakat tentang arti pemborosan dan kekikiran dan harus berhati-hati dan waspada pada pengeluaran yang dapat dimasukkan dalam kategori boros atau pelit. Ibn Sinā mengatakan bahwa banyak orang memuliakan pemborosan daripada orang-orang yang berhemat dan yang memiliki penaksiran, sedangkan orang-orang yang memuliakan sifat hemat dan lebih memilih taksiran mempunyai kesempurnaan akal dan argumen yang kuat.Pengeluaran kedua dapat dilakukan jika orang itu memiliki kekayaan berlebih. Misalnya, zakat yang harus dibayarkan jika telah mencapai nisabnya atau orang tersebut dikategorikan sebagai muzakki, sedangkan sodaqoh tidak perlun i s a b. Selain itu, zakat dan sodaqoh harus dikeluarkan dengan semangat, niat yang baik, kebahagiaan, dan keyakinan bahwa pengeluaran baik dari zakat atau sodaqoh adalah persiapan yang suatu saat nanti akan dibutuhkan. Untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma'ruf ), harus memenuhi persyaratan yang Ibnu Sina menyatakan: pertama, ini harus diberikan segera, karena akan meyakinkan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, ini harus diberikan diam-diam, karena memberikan cara rahasia lebih jelas untuk membantu. Ketiga, harus dianggap sebagai kecil, karena itu berarti lebih besar ketika memberikan al-ma'ruf. Keempat, harus dilakukan secara berkelanjutan. Terakhir, ini harus diberikan di tempat yang tepat dan kepada orang-orang yang memenuhi syarat.
Untuk kategori terakhir adalaha l - i d d i k h ā r (tabungan). Menurut Ibnu Sina bahwa orang tidak boleh melupakan tabungan bila ada kesempatan untuk melakukan itu. Memang, ketika manusia menghadapi peristiwa yang terjadi dan ia tidak bisa mengatasi kondisi tersebut, maka ia membutuhkan sumber daya atau tabungan di masa depan. Padahal, ia memotong satu demi satu tali kesulitan yang mengikatnya meskipun tabungan tersebut nantinya akan habis. Tapi, manusia harus berkeyakinan bahwa Allah adalah yang Maha memberikan kecukupan dan Maha penolong.
Penutup
Konsep pengelolaan harta dalam Islam dibangun dari perspektif Islam tentang harta, tujuan atau maqasid pemilikan harta dan isyarat-isyarat berupa tamsil dan penyadaran. Selanjutnya ada beberapa konsep yang terkait dengan pengelolaan harta dalam Islam seperti konsep perolehan harta, Konsep kepemilikan, dan konsep pengelolaan.
Perolehan harta dalam islam dapat diperoleh melaui kerja, waris dan wakaf. Adapun prinsip-prinsip pengelolaan harta dalam Islam meliputi (a) prinsip-prinsip dalam perolehan harta yaitu: niat yang baik, hanya mencari yang halal dengan cara yang halal, mengedepankan sikap profesional dan kreatifitas serta menjunjung tinggi etika dalam berusaha; (b) prinsip-prinsip dalam pembelanjaan harta yaitu: sederhana, skala prioritas (c) prinsip-prinsip dalam pengembangan harta yaitu: terhindar dari riba, maisir, garar, syubhat, dan unsur haram; (d) prinsip-prinsip dalam pembagian harta yaitu: proporsional dan mendahulukan hak-hak yang harus ditunaikan. (zakat, Infaq, Shodaqoh)
Rujukan
- Al-Haritsi, jaribah Bin Ahmad. 2010. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa
- Al-Qur’an. 2006. Departemen Agama Republik Indonesia. Terjemahan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran. Jakarta: Pena Pundi Aksara
- Aslam Haneef, Muhamed, 2006. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Airlangga University Press : Surabaya
- Chapra, Umer. 2000. Masa Depan Ilmu Ekonomi:Sebuah Tinjauan Islam. Gema Insani : Jakarta
- Hajar, Ibnu. 2011. Bulughul Maram : Kitab Hadist Populer Dalam Bidang Fikih, Akhlaq, dan Keutamaan Amal Ibadah. Bandung : Sygma Publising
- Sudarsono Heri, 2007. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonisa ; Jogjakarta
- Yusanto Yunus dan Yunus Arif, 2009 Pengantar Ekonomi Islam, Al-Azhar Press:Bogor