Menggagas
Karakteristik Pemimpin Perusahaan
Dalam Perspektif Islam
Ahmad
Ajib Ridlwan
Magister Sains Ekonomi Islam FEB
Universitas Airlangga
Staf Bidang Kemahasiswaan Fakultas
Ekonomi Univesitas Negeri Surabaya
Pendahuluan
Dalam
setiap jenis organisasi, kepemimpinan merupakan faktor penting. Pemimpin adalah
motivator yang merupakan kunci kesuksesan dalam sebuah organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah direncanakan. Seorang pemimpin haruslah mempunayi
pengetahuan serta kemampuan mengingat kondisi
global yang ditandai dengan persaingan yang makin ketat serta pasar bebas
mengharuskan setiap perusahaan untuk mampu melakukan perbaikan berkelanjutan
(continues improvement) agar mampu bersaing dan selanjutnya berkembang. Setiap
perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif, kerjasama tim yang baik,
kepercayaan dan penguasaan informasi yang memadai. Namun disamping semua faktor
tersebut, faktor utama yang paling menentukan kesuksesan maupun keberhasilan
perusahaan adalah pemimpin dalam perusahaan tersebut.
Seorang pemimpinlah yang menentukan
jalannya bisnis, sasaran-sasaran yang ingin dicapai baik internal maupun
eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko yang dihadapi.
Pemimpin perusahaan adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran
organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi
tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupakan tantangan yang harus dihadapi
oleh setiap pemimpin.
Menyadari peran pemimpin yang sangat
sentral dalam organisasi, para ahli berusaha melakukan berbagai macam
penelitian untuk mendapatkan kriteria-kriteria pemimpin yang terbaik. Sudah
begitu banyak teori-teori kepemimpinan yang ditulis oleh para ahli, baik dalam
maupun luar negeri.
Namun cukup disayangkan aspek yang
dibahas sebagian besar hanya dari sisi manajemen dan bidang keahlian saja. Sehingga konsep yang dihasilkan
cenderung mengasingkan
manusia dari manusia disekitarnya. Manajemen modern juga menganggap tenaga kerja
merupakan faktor produksi belaka sehingga menciptakan manusia-manusia yang
semakin hari semakin terasing dari kodratnya yang paling utama yaitu sebagai
abdi Tuhan.
Makna Pemimpin dan Kepemimpinan
Dalam bahasa Indonesia
"pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina,
panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja,
tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks
hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi
orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan
memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun
demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda. Pemimpin adalah suatu lakon/peran
dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu
memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah
Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan
tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa
dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi
yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu
bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa
tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan -
khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi
orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk
pencapaian satu beberapa tujuan.
Pemimpin jika dialihbahasakan ke
bahasa Inggris menjadi "LEADER", yang mempunyai tugas untuk me-LEAD
anggota disekitarnya. Sedangkan makna LEAD adalah :
Ø Loyality, seorang
pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam
kebaikan.
Ø Educate, seorang
pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
Ø Advice,
memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada
Ø Discipline,
memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya.
Kepemimpinan dalam Prespektif Islam
Islam sebagai agama yang sempurna
sangat memperhatikan tentang masalah kepemimpinan ini. Pemimpin yang dalam
bahasa Al Qur'an disebut khalifa sangat sering disebutkan dan dibahas dalam Al
Qur'an. Diantaranya ayat-ayat tersebut adalah : "Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi" (Qs Al Baqarah :30), kemudian pada ayat
yang lain Allah berfirman "Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi,maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia menyesatkan kamu dari jalan
Allah" (Qs As Shaad:26), "Dialah yang menjadikan kami
khalifah-khalifah dimuka bumi" (Qs Al Fathir : 39), dan masih ada banyak
ayat-ayat yang lain.
Salah satu bukti pentingnya seorang
pemimpin dapat kita lihat dari sebuah hadist yang memerintahkan untuk
mengangkat seorang pemimpin walaupun hanya dalam keadaan berpergian dengan
jumlah tiga orang, yaitu "Apabila ada tiga orang keluar bepergian, maka
hendaklah mereka menjadikan salah seorang sebagai pemimpin" (H.R Abu
Daud). Dan juga dapat kita lihat dari dalamnya sabda Rasululullah SAW,
"Kamu semuanya pemimpin (di tempat dan bidangnya masing-masing) dan semua
kamu akan diminta pertanggungjawabannya. Dan Imam (penguasa) itu adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya" (H. R. Bukhari dan
Muslim).
Pemimpin Perusahaan Yang Tangguh
Semua pekerjaan baik itu besar maupun
kecil harus dilakukan oleh orang yang tepat, itilah populernya right man in the
right place. Rasulullah SAW beberapa abad yang lampau telah mengingatkan
"Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak
memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya"
(H.R. Bukhari bab Ilmu).
Terlebih lagi urusan pemimpin yang
memegang kendali terhadap apa yang dipimpinnya. Dalam hal ini pemimpin
perusahaan yang ditangannya terletak masa depan perusahaan dan seluruh pihak
yang merupakan stake holders perusahaan tersebut. Kepemimpinan sebagai salah
satu penentu arah dan tujuan organisasi harus mampu mensikapi perkembangan
zaman. Pemimpin yang tidak dapat mengantisipasi dunia yang sedang berubah ini,
atau setidaknya tidak memberikan respon, besar kemungkinan akan memasukkan
organisasinya dalam situasi stagnasi dan akhirnya mengalami keruntuhan.
Seorang pemimpin perusahaan yang ideal
haruslah seorang yang mempunya kapabilitas dan profesionalitas agar dapat
memimpin dengan manajemen dan sistem yang baik. Sudah begitu banyak buku
manajemen dan psikologi yang ditulis oleh para ahli yang mencoba merumuskan
karakteristik dari pemimpin perusahaan yang tangguh dan efektif.
Warren Bennis (1997) sebagaimana
dirangkum oleh Cahyo Pramono dalam tulisannya di Waspada Online (26 Juli 2004)
menulis dalam bukunya Managing People is like Herding Cats yang juga telah
diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia, mensyaratkan bahwa seorang pemimpin
perusahaan yang tangguh haruslah mempunyai karakteristi-karakteristik berikut :
a.
Pengenalan diri
Secara pasti mereka mengenal kelebihan
dan kekurangan yang mereka miliki. Bahkan mereka sering menggunakan jasa pihak
lain untuk memberikan masukan dan pemahaman atas kepribadiannya. Dengan bekal
pemahaman atas dirinya, mereka bergerak maju memperbaiki kekurangan dan melesat
jauh bersama kelebihannya.
b.
Terbuka terhadap umpan balik
Pemimpin yang efektif mengembangkan
sumber-sumber umpan balik yang bervariasi dan berharga mengenai perilaku dan
kinerja mereka. Pemimpin yang efektif cenderung memiliki gaya yang terbuka.
Dalam proses pembelajaran tersebut kadang pemimpin yang efektif dan dinamis
menjadi sangat reflektif terhadap apa yang dikerjakan, kendati hal tersebut
membuat mereka menjadi terbuka dan rawan terhadap kritik.
c.
Pengambil resiko yang selalu ingin tahu
Kebanyakan pemimpin adalah petualang,
pengambil risiko dan selalu ingin tahu bahkan sangat ingin tahu. Mereka tampak
mampu mengambil risiko sangat besar dan membiasakan dirinya selalu terlibat
dalam situasi berbahaya yang mereka sadari sebelumnya. Hampir selalu terjadi,
para pemimpin besar mengalami kemunduran, krisis, atau kegagalan dalam
kehidupan mereka.
d.
Konsentrasi pada pekerjaan
Mereka adalah orang-orang yang
walaupun berkemampuan kecil dalam hubungan antar pribadi, tetapi memiliki
tingkat konsentrasi yang luar biasa. Mata tajam mereka terfokus pada pekerjaan,
perusahaan, sasaran-sasaran, dan misi misi mereka.
e.
Menyeimbangkan tradisi dengan perubahan
Alfred North Whitehead pernah
mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin efektif, anda harus memiliki
keterikatan, baik dengan budaya maupun dengan kebutuhan akan revisi dan
perubahan. Anda mesti waspada dengan tradisi, tetapi tak terjerat olehnya.
f.
Bertindak sebagai model dan mentor
Pemimpin bangga menjadi seorang mentor
dan merasakan kemenangan ketika mereka pada akhirnya berhasil melahirkan
pemimpin-pemimpin baru. Pemimpin menghargai kemenangan itu dengan menjadikan
seluruh periode kehidupan sebagai proses belajar, dan memanfaatkan semua
pengalaman secara didaktik.
Kriteria Pemimpin Dalam Islam
Dalam
islam seorang pemimpin haruslah mempunyai karateristik tertentu sesuai dengan
yang diajarkan dalam al Qur’an dan as Sunnah diantaranya:
1. Seorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
Karena
ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram
dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan
keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal saleh. Allah berfirman : “Dan
jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS
Al-Furqan : 74). Dalam ayat lain Allah berfirman : “Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).” (QS Ali Imran )
2. Berilmu
Yang
dimaksud dengan ilmu tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan).
Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut
kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara
para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah
ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada
Allah”.Marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut
(QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman
(Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
3. Memiliki kekuatan Fisik (sehat jasmani dan rohani)
Ini
terungkap dalam Alquran surat Al-Qashash ayat 26 : “Sesungguhnya orang yang
paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat…”. Kekuatan fisik merupakan syarat
utama dalam memegang tanggung jawab berat mengurus umat. Dengan stamina yang
prima pemimpin akan maksimal mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya mengurus
umat. Bukan sebaliknya, umat yang memikirkan dan mengurus pemimpin yang
sakit-sakitan. Kriteria kuat fisik ini menjadi salah satu alasan Nabi untuk
tidak memberikan jabatan kepada Abu Dzar. “Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau
lemah. Aku suka untukmu apa yang aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan
memimpin (walau) dua orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim”
(HR Bukhari Muslim).
4. Bersikap adil, jujur dan dapat dipercaya
Allah
berfirman : “Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah orang yang kuat
lagi terpecaya” (QS. Yusuf: 54). Sifat terpercaya berkaitan dengan kemampuan
mengendalikan diri, tidak menyelewengkan jabatan untuk mencari keuntungan
secara tidak sah. Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh) apabila kamu
menetapkan hukum diantara manusia, supaya menetapkan dengan adil” (Qs. An-Nisa
: 59). Rasulullah bersabda tentang pemimpin yang adil : “Orang yang bakal
paling dikasihi oleh Allah dan yang paling dekat di sisi-Nya kelak pada hari
berhisab ialah pemimpin yang adil, dan orang yang bakal paling dibenci Allah
pada hari berhisab dan bakal menerima siksa azab yang sangat pedih adalah para
pemimpin yang dzalim.” (HR Tirmidzi)
5. Konsekuen memikul tanggung jawab (Amanah)
Maksudnya
adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan
bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat. Dan tentunya peraturan
yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat dan tidak bertentangan dengan hukum
Allah dan rasul-Nya.
6. Memiliki keberanian (tegas) menegakkan yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar
Syarat
terakhir yaitu keberanian karena tanpa keberanian, segala sifat-sifat terdahulu
tidak akan dapat dijalankan secara efektif. Tegas bukan berarti otoriter, tapi
tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah
serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan hukum Allah dan rasul-Nya.
Pemimpin yang tangguh + Prinsip
Kepemimpinan Islam = Pemimpin Ideal
Sebagai sebuah agama yang komprehensif
dan secara lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, agama Islam
memiliki prinsip-prinsip mendasar yang secara khusus mengatur penjabaran visi,
misi, kewajiban, fungsi, tugas, wewenang, tanggung jawab manusia dimuka bumi
ini. Tidak terkecuali dalam memimpin sebuah perusahaan, setiap pribadi yang
mendapat amanah sebagai pemimpin harus tetap memegang prinsip-prinsip Islam
yang sangat mulia. Sebagaimana firman-Nya : "Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu
"(Al Baqarah :208).
Berkaitan dengan kepemimpinan yang
termasuk didalamnya kepemimpinan dalam perusahaan, Islam juga telah memberikan
konsep dan prinsip yang lengkap dan sempurna. Diantara prinsip yang paling
utama untuk membentuk pemimpin yang ideal adalah :
a.
Prinsip Ibadah
Seorang pemimpin yang pada hakekatnya
adalah makhluk ciptaan-Nya, maka sudah seharusnya dalam seluruh amal
perbuatannya didasarkan pada tujuan utama ikhlas mencari ridha Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya : "Dan tidak Ku ciptakan Jin dan Manusia kecuali
untuk mengabdi kepada-Ku" (Qs Adz Dzaariyat :56), dan juga pada ayat lain,
"Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah saja dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun jua dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada kedua ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, rekan sejawat, orang musafir yang
terlantar dan juga hamba sahaya yang kamu miliki". (Qs An Nisa' : 36 ).
b.
Prinsip Amanah
Seorang pemimpin yang mengaku beriman
dan Islam, harus menjalankan 2 jenis amanah yang dibebankan kepadanya. Amanah
yang pertama berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Yaitu kewajiban untuk
menjalankan segala perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjauhi segala
larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan
itu, meliputi segala bidang, baik yang bersifat pibadi, maupun umum. Baik yang
berhubungan langsung dengan Allah SWT (hablum minallahi) yang mengandung aspek
ritual, maupun yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannasi) yang
mengandung aspek sosial.
Amanah yang kedua adalah yang berasal
dari manusia. Amanah ini meliputi berbagai hal yang menyangkut hajat hidup
manusia sehari-hari, baik dalam urusan pribadi, maupun urusan bersama. Setiap
individu yang mendapat amanah dari manusia untuk pemimpin mendapat beban amanah
untuk mengurus, mengatur, memelihara dan melaksanakan kewajiban itu secara baik
dan benar. Sebagaimana firman Allah SWT, "Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (akibatnya)"
(Qs. Al-Anfaal : 27-28), dan juga ayat-ayat lain yang bermakna sama.
c.
Prinspip Ilmu / Profesionalitas
Prinsip ilmu maksudnya adalah semua
pekerjaan itu harus dilakukan berdasarkan dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana
firman Allah : "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan mengenainya "(Qs Al Israa': 36). Selain itu masih
banyak ayat-ayat dalam Al Qu'an yang menggambar pentingnya ilmu, termasuk ayat
yang pertama kali turun memerintahkan untuk ikra' (membaca).
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadist yang sudah sangat sering kita dengar mengatakan bahwa, "Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya" (H. R. Bukhari bab Ilmu). Dan juga Imam Syafi'i yang merupakan salah satu ulama besar Islam mengatakan bahwa "barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan dua-duanya maka hendaklah dengan ilmu." (Al-Majmu' Imam An-Nawawi).
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadist yang sudah sangat sering kita dengar mengatakan bahwa, "Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya" (H. R. Bukhari bab Ilmu). Dan juga Imam Syafi'i yang merupakan salah satu ulama besar Islam mengatakan bahwa "barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan dua-duanya maka hendaklah dengan ilmu." (Al-Majmu' Imam An-Nawawi).
d.
Prinsip Keadilan
Allah SWT adalah yang Maha Adil dan
sangat mencintai keadilan, hal itu dapat kita lihat dengan banyaknya perintah
untuk berbuat adil di dalam Al Qur;an. Beberapa diantaranya adalah :
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan."(An Nisaa :135), dan juga "Katakanlah : Tuhanku menyuruh
menjalankan keadilan. Dan : Luruskanlah muka mu di setiap sembahyang dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia
telah menciptakan kamu pada permulaan "(Al A'raaf : 29).
e.
Prinsip Etos Kerja / Kedisiplinan
Islam adalah agama yang mengajarkan
kerja keras dan usaha disamping berdoa untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Islam tidak pernah mengajarkan untuk hanya tinggal berharap dan berpangku
tangan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT bahwa, "yang demikian itu
karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang
ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" (Qs Al Anfaal : 53).
Pada ayat :"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS Al Jumu'ah : 10), Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk segera bekerja setelah beribadah dan tidak hanya pasrah dengan alasan zuhud atau tawakkal. Maha benar Allah SWT yang telah berfirman :" Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi… "(Qs Al Qashash : 77)
Pada ayat :"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS Al Jumu'ah : 10), Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk segera bekerja setelah beribadah dan tidak hanya pasrah dengan alasan zuhud atau tawakkal. Maha benar Allah SWT yang telah berfirman :" Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi… "(Qs Al Qashash : 77)
g.
Prinsip Akhlaqul Qarimah
Sebagai seorang yang beriman sudah
sepantasnya kita mencontoh Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupan
terutama menyangkut masalah akhlak. Semua orang yang mengenal beliau, baik
kawan maupun lawan pastilah akan memuji kemuliaan akhlak dan kepribadian
beliau. Bahkan 'Aisyah istri beliau ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, mengatakan
bahwa seperti Al Qur'an. Allah SWT sendiri dalam salah satu ayat memuji beliau
dengan mengatakan : "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung" (Qs Al Qalam : 4).
Allah SWT juga telah menyampaikan kepada manusia apabila ingin memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat agar mencontoh dan meneladani akhlak beliau, sebagaimana tersirat dalam ayat berikut, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu dan bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah " (QS Al Ahzaab : 21).
Allah SWT juga telah menyampaikan kepada manusia apabila ingin memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat agar mencontoh dan meneladani akhlak beliau, sebagaimana tersirat dalam ayat berikut, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu dan bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah " (QS Al Ahzaab : 21).
Penutup
Para ilmuwan dan pemikir Islam
seharusnya berusaha lebih keras dalam melakukan pengembangan psikologi Islam
yang diharapkan nantinya dapat menjadi penyeimbang konsep psikologi modern yang
cenderung sekularistik. Konsep dan rumusan prinsip mulia yang dimiliki Islam
apabila dapat diintegrasikan secara tepat dan cermat dengan konsep psikologi
dan manajemen modern akan menghasilkan suatu konsep baru dalam menciptakan
model kepemimpinan dalam perusahaan yang ideal. Seorang pemimpin tidak hanya
dapat membawa perusahaan yang dipimpinnya melesat maju, akan tetapi yang
terpenting adalah bisa membawa kebaikan di dunia dan akhirat untuk dirinya dan
orang lain.
Dua model pengembangan psikologi Islam
tentunya masih perlu terus-menerus diuji sampai kemudian diperoleh mana yang
dianggap menjadi pondasi yang kuat dalam usaha pengembangannya. Demikian pula
dengan tulisan dan pendapat yang diajukan penulis dalam menggunakan konsep
psikologi Islam untuk mendapatkan karakteristik pemimpin yang ideal tentu saja
masih membuka peluang yang sangat luas untuk perbaikan dan kritik.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
tidak ada yang sempurna selain Allah SWT, maka dalam mengambil dan mempelajari
sebuah ilmu kita tidak boleh bersifat jumud (mencukupkan diri), sehingga
menutup diri dari pendapat yang berbeda dengan yang ada pada kita sebelumnya.
Akhir kata penulis berdoa agar tulisan ini dapat bermamfaat dan dinilai sebagai
amal ibadah yang ikhlas karena Allah SWT semata.
Daftar Rujukan
Al Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW
American Management Association. 1998.
Eighteen Manager Competencies. New York: American Management Association
Bennis, Warren. 1997. Managing People
is like Herding Cats. South Provo : Executive Excellence Publishing
Covey, Stephen R. 1989. The 7 Habits
of Highly Effective Person. New York : Simon & Schuster
Crosby, P. 1996. The Absolutes of
Leadership. San Francisco : Jossey-Bass Publisher
Dewantoro, Setyo Hajar. 2003.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Kritis. Available,
http://www.fahmina.org/telaah%20ut1.htm (19 May 2003)
Faqih HN, Ahmad. 2004. Menggagas
Psikologi Islami:Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam.
Available, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm
(18 Maret 2004)
Harsi, Th Agung M. 2003. Hubungan
Kepemimpinan Transformasional dan Karakteristik Personal Pemimpin. Available,
http://artikel.us/amharsiwi2.html (19 Maret 2003)
Hawari, Dadang. 2002. Dimensi Religi
dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta Balai Penerbit FKUI
Kholis, Azizul. 2004. Kosep Profesional Dalam Islam. Availabel,
http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?articl
e_id=43543 (30 April 2004)
Najati, Utsman. 2002. Jiwa dan
Pandangan Filosof Muslim. Jakarta : Pustaka Hidayah
Pramon, Cahyo. 2004. Ciri Pemimpin
Dinamis. Available,
http://www.waspada.co.id/bisnis/tinjauan_ekonomi/artikel.php?article_id= 48246
(26 Juli 2004)
Robbins,
Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta: Rosdakarya
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of
Leadership. A Survey of Theory and Research. New York : The Free Press
Zohar, Danah & Ian Mashall. 2000.
SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. London : Bloomsbury
Publishing Plc
Ekonomi Dalam Perspektif Islam : Sebuah Pemikiran
Ahmad Ajib Ridlwan
Asikin Azhar
(Mahasiswa Magister Sains Ekonomi Islam FEB Universitas Airlangga)
Pendahuluan
Sistem ekonomi dunia yang saat ini bersifat sekuler -dimana terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi- telah mulai terkikis. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, dimana pada masa tersebut kekuasaan gereja Katolik sangat dominan. Sehingga hal ini menimbulkan pergerakan yang berupaya untuk mengikis kekuasaan gereja yang terlalu besar pada masa itu. Pergerakan inilah yang pada akhirnya memunculkan suatu aliran pemikiran bahwa harus terjadi suatu pembedaan atau pembatasan antara aktivitas agama dengan aktivitas dunia, sebab munculnya pemikiran keilmuan seringkali dianggap bertentangan dengan doktrin gereja pada masa itu.
Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti bahwa pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan sampai saat ini, seperti ilmu aljabar.
Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh dunia terutama oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim saat ini melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu dark ages –yaitu melakukan dikotomi antara aktivitas spiritual dan aktivitas duniawi- yang justru membuat Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara Barat semakin maju ketika jauh dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan semakin tertinggal ketika meninggalkan agamanya.
Sebagian besar manusia saat ini masih memandang Islam secara parsial dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Bahkan mereka beranggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan ketentuan Ilahi. Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.
Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang saat ini baik tataran teori maupun praktik merupakan wujud nyata dari upaya operasionalisasi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dengan melalui proses panjang dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Perkembangan teori ekonomi Islam telah dimulai pada masa Rasulullah dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi seperti QS Al-Baqarah ayat 275 dan 279 tentang jual beli dan riba; QS Al-Baqarah ayat 282 tentang pencatatan transaksi muamalah; QS Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS Al-A’raf ayat 31, An-Nisaa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan pembelanjaan harta; serta masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Ayat-ayat di atas ini memperlihatkan bahwa Islam pun telah menetapkan pokok aturan mengenai ekonomi meskipun pada masih bersifat umum dan praktik implementasi di lapangan akan saling berbeda antar generasi dan jaman.
Pengertian Ekonomi Islam
Menurut Mannan dalam Haneef (2006:16) menyatakan bahwa Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Masalah yang dimaksud adalah kelangkaan.
Sedangkan menurut Yusanto dan Yunus (2009:12) memberikan tiga penafsiran tentang ekonomi islam. Pertama, ekonomi islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran islam. Kedua ekonomi islam adalah system ekonomi Islam yang menyangkut pengaturan kegiatan ekonomi dalam masyarakat berdasarkan cara atau metode islam. Ketiga, ekonomi islam adalah perekonomian islam atau perekonomian dunia islam.
Dari ketiga pengertian diatas tentunya yang lebih cocok adalah pengertian yang kedua dimana dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tentunya manusia khususnya manusia islam (Islamic man) harus mendasarkan pada ajaran islam yang sudah diatur dalam alquran dan hadist agar supaya manusia islam tidak menjadi makhluq ekonomi (homo ekonomicus) yang berusaha memenuhi kebutuhanya berdasarkan hawa nafsu.
M. Nejatullah Siddiqi mendefisinisikan: “Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan Sunnah, akal dan pengalaman.”
Dalam ekonomi konvensional kita mengenal bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya dengan sumber daya yang terbatas dengan keinginan yang terbatas. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.
Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah:
- Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
- Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang
- Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
- Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
- Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Sumber Hukum Ekonomi Islam
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushl fiqh. Metode pengambilan hukum atas suatu permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam metode, namun dalam buku ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.
Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi, terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga dalam setiap penarikan dan pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh seluruh umat manusia.
Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai sahabat-sahabatnya. Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.
Hadits dan sunnah ini hadir sebagai tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak terdapat di Al-Qur’an. Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad
Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga dalam aspek syariat.
Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.
Permasalahan Utama dalam Ekonomi
Ekonomi merupakan studi tentang manusia, dimana terjadi pertentangan antara kebutuhan dan keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas berbenturan dengan kapasitas sumber daya yang terbatas. Oleh karenanya ekonomi hadir tentang bagaimana menggunakan atau mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi yang terbatas jumlahnya tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebaik-baiknya. Sehingga yang menjadi masalah pokok dalam suatu sistem ekonomi adalah masalah kelangkaan (scarcity). Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, keamanan, kebutuhan sosial serta kebutuhan individu akan pengetahuan dan suatu keinginan untuk mengekspresikan diri. Sementara keinginan adalah bentuk kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual. Manusia mempunyai keinginan yang nyaris tanpa batas tetapi sumber dayanya terbatas. Jadi mereka akan memilih produk yang memberi nilai dan kepuasan paling tinggi untuk uang yang dimilikinya. Dengan keinginan dan sumber daya yang dimiliki manusia akan menciptakan permintaan akan produk dengan manfaat yang paling memuaskan.
Berdasarkan pandangan atas kebutuhan dan persyaratan apa yang dibutuhkan untuk memenuhinya, akan berlanjut kepada kelangkaan relatif atas pemenuhan kebutuhan dalam rangka pencapaian nilai yang lebih tinggi dan pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam pandangan ekonomi konvensional “ilmu ekonomi adalah studi tentang pemanfaatan sumber daya yang langka atau terbatas (scarcity) untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas (unlimited) ”.
Secara umum, ilmu ekonomi adalah studi tentang pilihan atas berbagai kebutuhan dan keinginan manusia yang dibatasi oleh sumber daya yang sifatnya terbatas. Kelangkaan tidak dapat terelakkan dalam kehidupan manusia dan telah menjadi pusat permasalahan ekonomi.Bagi sebagian besar umat manusia yang hidup di dunia ini kelangkaan merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas jumlahnya tidak sebanding dengan besarnya permintaan.
Karena keterbatasan sumber daya tersebut, maka setiap individu menghadapi masalah pengambilan keputusan tentang apa yang harus diproduksi dan bagaimana membagi produk tersebut di kalangan anggota masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai preferensi yang berbeda dalam menentukan pilihan tersebut. Keterbatasan dalam melakukan pilihan tersebut secara tidak langsung menunjukkan akan timbulnya suatu biaya, hal ini dikenal dengan biaya peluang (opportunity cost).
Sehingga dari permasalahan utama mendasar, setiap masyarakat menghadapi dan harus memecahkan tiga permasalahan pokok ekonomi :
a. Apa yang harus diproduksi dan dalam jumlah berapa barang tersebut diproduksi (WHAT)
b. Bagaimana sumber-sumber ekonomi (faktor-faktor produksi) yang tersedia harus dipergunakan untuk memproduksi barang-barang tersebut secara optimal (HOW)
c. Untuk siapa barang-barang tersebut diproduksikan; atau bagaimana barang-barang tersebut dibagikan diantara warga masyarakat (FOR WHOM)
Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktiviti ekonomi. Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif “kehendak” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini, bukan keinginan.
Kehendak (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemahuan) manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kehendak. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam penggunaan manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kehendak seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Memang diakui bahwa perbezaan keinginan dan kehendak begitu berkait diantara satu manusia dengan manusia lain. Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam membezakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas (kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya ukuran umum yang harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kehendak. Dengan kebersamaan kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita, sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu mencerminkan kehendak atau keinginan.
Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statistik, keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih digunakan akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kehendak. Jadi ukuran yang membedakan definisi kehendak dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statik, ia bergantung pada kondisi (suasana) perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standard kamashlahatan penggunaan barang tertentu maka dapat saja dinilai kurang, ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Kesimpulan
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta). Pola berpikir ekonomi konvensional yang tanpa nilai telah menyebabkan ilmu ekonomi ini menjadi suatu ilmu yang digunakan untuk memenuhi tuntutan nafsu manusia semata tanpa ada aturan yang jelas, serta melegalkan terjadinya eksploitasi dalam kegiatan ekonomi yang terjadi. Kemudian tampillah beberapa mazhab ekonomi konvensional baru untuk memasukkan aspek-aspek normatif, sosial, dan institusional prilaku manusia dalam model-model ekonominya. Namun semua ini mengalami masalah karena mereka sulit untuk menemukan standar nilai yang dapat disepakati secara luas oleh seluruh kalangan.
Perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia, ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka. Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kehendaknya. Dengan segala nilai dan norma yang ada dalam akidah dan akhlak Islam, peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan dimungkinkan untuk terjadi.
Peleburan keinginan dengan kehendak dalam diri manusia Islam terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic norms). Sehingga
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang asli yang mana bersumber dari Islam. Dan secara simulasi yang semulajadi, ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah digunapakai saat ini.
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang asli yang mana bersumber dari Islam. Dan secara simulasi yang semulajadi, ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah digunapakai saat ini.
Para ekonom muslim perlu mengembangkan suatu ilmu yang khas yang berlandaskan atas nilai-nilai iman dan Islam yang sejati. Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas dasar (yang terdiri atas: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad), tiang (terdiri atas multitype ownership, freedom to act, dan social justice), dan terakhir adalah atapnya yaitu akhlak.
Rujukan
Yusanto Yunus dan Yunus Arif, 2009 Pengantar Ekonomi Islam, Al-Azhar Press:Bogor
Sudarsono Heri, 2007. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonisa ; Jogjakarta
Aslam Haneef, Muhamed, 2006. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Airlangga University Press : Surabaya
Chapra, Umer. 2000. Masa Depan Ilmu Ekonomi:Sebuah Tinjauan Islam. Gema Insani : Jakarta
INDIVIDU DAN KELUARGA PERSPEKTIF ISLAM
(Ditinjau dari Perolehan, Kepemilikan dan Pengelolaan Harta)
Ahmad Ajib Ridlwan
Asikin Ashar
Pendahuluan
Manusia hidup dengan segenap fitrah yang ada didalam dirinya yang diciptakan allah bersama proses kelahirannya. Salah satu bentuknya adalah berbagai macam kebutuhan dalam dirinya. Tanggung jawab manusia adalah memenuhi kebutuhan itu dengan benar agar supaya dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Allah telah menyediakan berbagai macam bentuk barang di alam semesta ini agar manusia terdorong untuk memanfaatkan baik secara langsung atau tidak langsung semua itu memenuhi kebutuhan manusia demi kemaslahatan hidupnya. Karena harta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dan usaha manusia adalah sarana untuk memperoleh harta, maka harta adalah dasar dari manfaat, sedangkan usaha manusia adalah sarana untuk memperoleh harta, memiliki dan menggunakan harta tersebut.
Salah satu perkara mendasar dalam ekonomi adalah mengenai kepemilikan. Perbedaan yang mendasar dari kapitalisme dan sosialisme juga terletak pada konsep kepemilikan. Kapitalisme menekankan pada kepemilikan individu (individualism), sementara sosialis menekankan pada kepemilikan bersama (kolektivisme). Berikutnya konsep ini akan menentukan tatanan dalam pemanfaatan kepemilikan karena “siapa” memanfaatkan “apa” sangat ditentukan oleh “apa” itu milik “siapa” dan bagaimana cara memperolenya, memilikinya dan memanfaatkannya yang kita ketahui ini merupakan pertanyaan yang mendasar yang sering kita jumpai setiap mempelajari ekonomi konvensional.
Berbeda dengan ekonomi konvensional, system ekonomi islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai harta. Harta pada hakekatnya adalah milik allah.
$¯Rr& $uZö;t7|¹ uä!$yJø9$# ${7|¹ ÇËÎÈ §NèO $uZø)s)x© uÚö‘F{$# $y)x© ÇËÏÈ $uZ÷Kt7/Rr'sù $pkŽÏù ${7ym ÇËÐÈ $Y6uZÏãur $Y7ôÒs%ur ÇËÑÈ $ZRqçG÷ƒy—ur WxøƒwUur ÇËÒÈ t,ͬ!#y‰tnur $Y6ù=äñ ÇÌÉÈ ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ $Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”. (QS ‘Abasaa : 25-30)
Meskipun semua benda itu milik allah dan dicipyakan untuk kholifahnya dibumi dalam hal ini adalah manusia, namun tidak semua barang tersebut bebas dimilikinya. Ada peraturan yang mengatur bagaimana manusia dapat memperoleh, memiliki dan pemanfaatannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep kepemilikan harta yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :
1) Bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan (al-milkiyah)?
2) Bagaimana pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki (tasharruf fil milkiyah)?
Pembahasan
A. Perolehan Harta dalam Islam
Untuk memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara’(hukum ALLAH)
1. Dengan bekerja, bekerja baik mandiri atau bekerja untuk orang lain
Kerja atau amal menurut Islam dapat diertikan dengan makna yang umum dan makna yang khusus. Amal dengan makna umum ialah melakukan atau meninggalkan apa jua perbuatan yang disuruh atau dilarang oleh agama yang meliputi perbuatan baik atau jahat. Perbuatan baik dinamakan amal soleh dan perbuatan jahat dinamakan maksiat. Adapun kerja atau amal dengan maknanya yang khusus iaitu melakukan pekerjaan atau usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak bagi proses kegiatan ekonomi seluruhnya. Kerja dalam makna yang khusus menurut Islam terbahagi kepada kerja yang bercorak jasmani (fizikal) dan kerja yang bercorak aqli/fikiran (mental)
Dari keterangan hadis-hadis Rasulullah (s.a.w), terdapat kesimpulan bahawa konsep kerja menurut Islam adalah meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syara’ sebagai balasan kepada upah atau bayaran, sama ada kerja itu bercorak jasmani (fizikal) seperti kerja buruh, pertanian, pertukangan tangan dan sebagainya atau kerja bercorak aqli (mental) seperti jawatan pegawai, baik yang berupa perguruan, iktisas atau jawatan perkeranian dan teknikal dengan kerajaan atau swasta. Antara hadis-hadis tersebut ialah:
"Tidaklah ada makanan seseorang itu yang lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil usaha tangannya sendiri". (Riwayat al-Bukhari)
Selain daripada itu para sahabat menggunakan perkataan pekerja (amil) untuk jawatan orang yang ditugaskan menjadi petugas pemerintahan umpamanva kadi, gabenor dan sebagainya. Oleh yang demikian segala kerja dan usaha yang dibolehkan oleh syarak baik yang bersifat kebendaan atau abstrak atau gabungan dan kedua-duanya adalah dianggap oleh Islam sebaga "kerja". Segala kerja yang bermanfaat Islam dan yang sekecil-kecilnya seperti menyapu longkang hingga kepada yang sebesar-besarnya seperti menjadi menteri atau kepala negara adalah merupakan kerja atau amal sekalipun ianya berlainan peringkat dan kelayakan yang diperlukan untuknya. Berdasarkan konsep ini maka menurut pandangan Islam, masyarakat seluruhnya dan semua peringkat adalah pekerja.
Oleh yang demikian konsep kerja seperti ini membawa implikasi sosial yang penting, antaranya:
1) Bahawa asal manusia adalah sama sebagai manusia dan pekerja yang mempunyai kemuliaan dan kehormatan sekalipun perbezaan itu tidaklah merupakan keistimewaan satu pihak terhadap yang lain.
2) Para pekerja bukanlah hanya satu kelompok dari masyarakat, bahkan mereka adalah semua anggota masyarakat. Jadi mengikut konsep Islam bahawa masyarakat itu adalah tersusun atau terbentuk dari kerjasama antara sesama para pekerja di dalamnya, bukan terdiri dari kumpulan para pekerja dan para majikan seperti yang difahami menurut sistem ekonomi komunis atau kapitalis.
Dalam memperoleh harta kita diperintahkan untuk mencari yang halal dan baik. Sebagaimana firman Allah SWT
(#qè=ä3sù $£JÏB ãNà6s%y—u‘ ª!$# Wx»n=ym $Y7Íh‹sÛ (#rãà6ô©$#ur |MyJ÷èÏR «!$# bÎ) óOçFZä. çn$ƒÎ) tbr߉ç7÷ès? ÇÊÊÍÈ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. “ (Q.S Annahl ayat 114)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya". [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Mengingat pentingnya perolehan harta yang hala, ada 3 hal yang harus kita lakukan.
1) Perencanaan
Dengan melakukan perencanaan yang matang terhadap masalah sumber keuangan dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita akan terhindar untuk melakukan pengumpulan uang dengan jalan yang tidak di ridloi oleh Allah.
2) Berusaha
Dengan perencanaan yang matang tadi, terus kita praktekkan dalam bentuk
usaha yang benar-benar untuk mencari rezki yang halal. Ketika niat kita sudah kuat dan bulat, maka seberat apapun tantangan dalam hidup akan dapat teratasi.
3) Doa
Dalam waktu yang bersamaan kita juga harus selau ingat kepada Allah dengan
memperbanyak doa agar dipermudah dan diberkati usaha kita.
Dampak Perolehan Harta yang Halal
1) Membentuk Keluarga Yang Sakinah Mawaddah Warohmah
Andaikata sesuatu yang kita makan berasal dari rezki yang halal maka dalam kehidupan akan terasa tenang. Berbeda dengan orang yang memakan dari rezki yang haram dalam sehari-harinya, keluarga akan berantakan walaupun kaya dalam materi. Maka jangan menyalahkan kepada anak-anaknya, ketika nantinya menjadi anak yang susah diatur dan durhaka kepada kedua orang tua. Karena memang sumbernya berasal dari sesuatu yang tidak diridloi oleh Allah. Banyak kasus kalau kita melihat fenomena dalam kehidupan dimasyarakat, anak berani kepada orang tua. Itu tidak lain adalah dampak daripada rezki haram yang mereka makan dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah telah bersabda: “ Tiada mendatangkan faedah bagi daging yang tumbuh dari sumber yang haram, melainkan nerakalah tempat yang sewajarnya bagi daging itu.” (HR Imam Turmudzi)
2) Hidup lebih terarah
Dengan rezki yang halal akan menjadikan kehidupan kita semakin nikmat dan terarah. Menerima apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita tanpa harus terus melihat keatas dalam masalah harta. Ketika hati kita selalu berpikir masalah kekayaan, maka yang terpikir adalah bagaimana memperoleh sesuatu yang belum ada pada diri kita, tanpa melihat kenikmatan yang telah kita terima.
2. Melalui Warisan
Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Pengertian Harta Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.
Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16) "...
“Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
3. Wakaf
Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata wakaf tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, wakaf berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Dari beberapa definisi wakaf dari buku fiqih, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.
1) Orang yang berwakaf (al-wakif).
2) Benda yang diwakafkan (al-mauquf).
3) Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
4) Lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Orang yang Berwakaf
Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif) ada 4:
1) Orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki.
2) Orang yang berwakaf mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3) Orang yang berwakaf mestilah baligh.
4) Orang yang berwakaf mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
B. Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dan hak milik
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan untuk produksi namun tidak memberikan hak itu secara absolute(mutlak). Penekanan pembatasan hak milik absolute, Al-Qur’an menunjukkan pola masalah penciptaan sumber-sumber ekonomi bagi Allah terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an QS. 13:3; 67:15; 3:180; 4:5; 35:29; 35:30; 3:180; 28:77; 42:36).
Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan Syari’ah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis Syari’ah.
Bentuk-bentuk Hak Milik Pribadi Dalam Islam
Hak kepemilikan pribadi menurut pandangan (fiqh) Islam berbeda dengan system kapitalis maupun sosialis. Salah satu pembeda yang paling pokok dalam hal ini adalah karakteristik peduli social dalam system kepemilikan social.
Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi, menghalalkan manusia untuk menabung, menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan bekerja, tetapi Islam member pula berbagai aturan dan tekanan peduli social pada individu pemilik, jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan dampak negative terhadap orang lain.
a. Pembatasan Penggunaan Penggunaan Hak milik Pribadi Dalam Islam
Islam hadir memperbolehkan kepemilikan Individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu yang memperhatikan kaidah fitrah manusia, bukan dengan cara perampasan. Di dalam kepemilikan atas suatu zat tertentu, bukanlah semata-mata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh Syar’I, serta diperbolehkan oleh Syar’I untuk memiliki zat tersebut.
b. Pengembangan Kepemilikan
Menurut Islam harta pada hakikatnya adalah hak milik Allah. Namun karena Allah telah menyerahkan kekuasaannya atas harta tersebut kepada manusia, maka perolehan seseorang terhadap harta itu sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta mengembangkan harta. Sebab, ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan dan terikat dengan hukum-hukum syara’, bukan bebas mengelola secara mutlak. Alasannya, ketika dia mengelola hartanya dengan cara yang tidak sah menurut syara’, seperti menghambur-hamburkan, maksiat, dan sebagainya. Maka Negara wajib mengawalnya dan melarang untuk mengelolanya serta wajib merampas wewenang yang telah diberikan Negara kepadanya.
Dengan demikian, mengelola harta dalam pandangan Islam sama dengan mengelola dan memanfaatkan zat benda. Dan system ekonomi Islam tidak membahas tentang pengembangan harta melainkan hanya membahas tentang pengembangan kepemilikannya.
Perbandingan Hak Milik Pribadi Dalam Ekonomi : Islam, Kapitalisme, Sosialisme
Kepemilikan Pribadi merupakan darah kehidupan bagi kapitalisme. Oleh karena itu, barang siapa yang menguasai factor produksi, maka ia akan menang. Demikian moto Kapitalisme. Ekonomi kapitalisme berdiri berlandaskan hak milik khusus atau hak milik individu. Ia memberikan kepada setiap individu hak memiliki apa saja sesukanya dari barang-barang yang produktif maupun yang konsumtif, tanpa ikatan apapun atas kemerdekaannya dalam memiliki, membelanjakan, maupun mengembangkan dan mengekploitasi kekayaannya.
Sementara dalam Sosialisme: setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Ekonomi ini mengedepankan pada hak milik umum atau hak milik orang banyak yang diperankan oleh Negara atas alat-alat produksi, tidak mengakui hak milik individu,kecuali hal-hal yang berlainan dengan dasar pokok yang umum itu. Negaralah pemilik satu-satunya alat produksi, semua rencana dan pengabdian yang berguna bagi seluruh bangsa. Orang tidak memiliki hak-hak, kecuali yang diakui dan memenuhi syarat terpeliharanya orang banyak.
Sistem Ekonomi Islam memiliki sikap yang tersendiri terhadap hak milik. Ekonomi Islam menganggap kedua macam hak milik pada saat yang sama sebagai dasar pokok bukan sebagai pengecualian. Hak milik dalam Ekonomi Islam, baik hak milik khusus maupun hak milik umum, tidaklah mutlak, tetapi terikat oleh ikatan-ikatan untuk merealisasikan kepentingan orang banyak dan mencegah bahaya, yakni hal yang membuat hak milik menjadi tugas masyarakat.
C. Konsep Kepemilikan Pengelolaan Harta Kekayaan
Konsep kepemilikan harta kekayaan
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam. Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya cara memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram).
Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta. Di dalam sistem ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property). Yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu. Berbeda dengan itu di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian Sistem Ekonomi Kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda lagi dengan Sistem Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan negara (state property). Menurut Sistem Ekonomi Islam, jenis kepemilikan umum khususnya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan individu.
Konsep Pengelolaan Harta Kekayaan
Perbedaan lainnya antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan harta, baik dari segi nafkah maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, harta yang telah dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi) ataupun di kembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.
Sedangkan menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang. Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam.
Menggunakan atau membelanjakan kekayaan yang diperoleh (infaq) atau yang dikenal dengan istilah ekonomi sebagai pengeluaran.Keduanya harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan aturan-aturan Syari'ah seperti yang disebutkan dalam buku politik Ibnu Sina bahwa hidup manusia harus diperoleh dengan cara yang benar dan baik, dan jauh dari sifat tamak dan pelit dan dari keinginan yang tamak dan rakus. Oleh karena itu, kekayaan atau pendapatan yang diterima harus mengikuti syariat yang dinyatakan dalam Qur'an dan hadits.
Dari sisi i n f a q (pengeluaran), Ibnu Sinā juga menjelaskan jenis-jenis infaq dengan pernyataan sebagai berikut: Jika manusia memperoleh kekayaan hanya dengan cara yang baik, maka ia harus membelanjakan atau mengeluarkan sebagian dari kekayaannya untuk shodaqoh, zakat, kebajikan yang baik (al-ma’ruf ), dan sebagian yang lain harus disimpan
untuk masa depan dikarenakan peristiwa-peristiwa mendesak yang terjadi berlaku pada masa itu.
Dengan kata lain, di bawah naungan Tauhid, manusia bisa mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Sisa pendapatan atau kekayaannya harus digunakan untuk amal di jalan Allah, atau diinvestasikan kembali dalam bisnis. Dalam al-Qur'an Allah SWT berfirman: "... mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka nafkahkan: Katakanlah:. Kelebihan (dari apa yang diperlukan) ..."
Penjelasan ayat ini menurut Yusuf Ali bahwa kita harus menggunakan harta yang sesuai dengan kebutuhan dan kelebihan yang lain kita harus keluarkan untuk pekerjaan yang baik dalam bentuk zakat, sedekah dan bantuan-bantuan yang lain. Konkritnya, masyarakat Muslim harus mendapatkan dan mengeluarkan harta atau kekayaannya sesuai dengan cara-cara yang islami. Ini akan memberikan manfaat bagi mereka di dunia maupun akhirat. Sebaliknya di zaman modern ini banyak orang-orang yang memperoleh kekayaannya dengan cara yang salah seperti korupsi, perjudian, dan penipuan. Efeknya bagi pengeluaran akan digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfat. Mereka yang melakukan perbuatan yang salah ini akan dihukum di dunia nyata maupun akhirat. Sebagai contoh, mereka yang kalah dalam perjudian akan dihukum dalam bentuk hukuman kemiskinan, masalah keluarga dan hidup yang tidak nyaman. Selanjutnya, mereka akan dihukum dalam bentuk siksaan yang sangat berat dari Allah SWT di akhirat nanti.
Pengeluaran adalah kekayaan atau penghasilan yang dihabiskan untuk konsumtif maupun tabungan. Menurut Ibnu Sinā, infaq (pengeluaran) dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1) I n f a q (pengeluaran) yang digunakan untuk manusia itu sendiri dan keluarganya tanpa adanya kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Hal ini disebut sebagai infaq ijtimā'I atau'a m.
2) I n f a q (pengeluaran) yang digunakan untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma'ruf), shodaqoh, dan zakat. Hal ini disebut sebagaii n f a q atau Khas Dīni.
3) A l - i d d i k h ā r (tabungan) yang digunakan untuk mempredeksi kejadian-kejadian yang terjadi di masa mendatang seperti bencana, kecelakaan, atau kebutuhan mendesak lainnya.
Kategori pertama menjelaskan bahwa manusia harus menggunakan pengeluaran konsumtifnya (nafaqah) secara ekonomis. Pada saat itu, pengeluaran ini harus dikoreksi dan direformasi dari masalah pemborosan dan kekikiran. Manusia rasional harus menyetujui pemahaman masyarakat tentang arti pemborosan dan kekikiran dan harus berhati-hati dan waspada pada pengeluaran yang dapat dimasukkan dalam kategori boros atau pelit. Ibn Sinā mengatakan bahwa banyak orang memuliakan pemborosan daripada orang-orang yang berhemat dan yang memiliki penaksiran, sedangkan orang-orang yang memuliakan sifat hemat dan lebih memilih taksiran mempunyai kesempurnaan akal dan argumen yang kuat.Pengeluaran kedua dapat dilakukan jika orang itu memiliki kekayaan berlebih. Misalnya, zakat yang harus dibayarkan jika telah mencapai nisabnya atau orang tersebut dikategorikan sebagai muzakki, sedangkan sodaqoh tidak perlun i s a b. Selain itu, zakat dan sodaqoh harus dikeluarkan dengan semangat, niat yang baik, kebahagiaan, dan keyakinan bahwa pengeluaran baik dari zakat atau sodaqoh adalah persiapan yang suatu saat nanti akan dibutuhkan. Untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma'ruf ), harus memenuhi persyaratan yang Ibnu Sina menyatakan: pertama, ini harus diberikan segera, karena akan meyakinkan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, ini harus diberikan diam-diam, karena memberikan cara rahasia lebih jelas untuk membantu. Ketiga, harus dianggap sebagai kecil, karena itu berarti lebih besar ketika memberikan al-ma'ruf. Keempat, harus dilakukan secara berkelanjutan. Terakhir, ini harus diberikan di tempat yang tepat dan kepada orang-orang yang memenuhi syarat.
Untuk kategori terakhir adalaha l - i d d i k h ā r (tabungan). Menurut Ibnu Sina bahwa orang tidak boleh melupakan tabungan bila ada kesempatan untuk melakukan itu. Memang, ketika manusia menghadapi peristiwa yang terjadi dan ia tidak bisa mengatasi kondisi tersebut, maka ia membutuhkan sumber daya atau tabungan di masa depan. Padahal, ia memotong satu demi satu tali kesulitan yang mengikatnya meskipun tabungan tersebut nantinya akan habis. Tapi, manusia harus berkeyakinan bahwa Allah adalah yang Maha memberikan kecukupan dan Maha penolong.
Penutup
Konsep pengelolaan harta dalam Islam dibangun dari perspektif Islam tentang harta, tujuan atau maqasid pemilikan harta dan isyarat-isyarat berupa tamsil dan penyadaran. Selanjutnya ada beberapa konsep yang terkait dengan pengelolaan harta dalam Islam seperti konsep perolehan harta, Konsep kepemilikan, dan konsep pengelolaan.
Perolehan harta dalam islam dapat diperoleh melaui kerja, waris dan wakaf. Adapun prinsip-prinsip pengelolaan harta dalam Islam meliputi (a) prinsip-prinsip dalam perolehan harta yaitu: niat yang baik, hanya mencari yang halal dengan cara yang halal, mengedepankan sikap profesional dan kreatifitas serta menjunjung tinggi etika dalam berusaha; (b) prinsip-prinsip dalam pembelanjaan harta yaitu: sederhana, skala prioritas (c) prinsip-prinsip dalam pengembangan harta yaitu: terhindar dari riba, maisir, garar, syubhat, dan unsur haram; (d) prinsip-prinsip dalam pembagian harta yaitu: proporsional dan mendahulukan hak-hak yang harus ditunaikan. (zakat, Infaq, Shodaqoh)
Rujukan
- Al-Haritsi, jaribah Bin Ahmad. 2010. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa
- Al-Qur’an. 2006. Departemen Agama Republik Indonesia. Terjemahan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran. Jakarta: Pena Pundi Aksara
- Aslam Haneef, Muhamed, 2006. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Airlangga University Press : Surabaya
- Chapra, Umer. 2000. Masa Depan Ilmu Ekonomi:Sebuah Tinjauan Islam. Gema Insani : Jakarta
- Hajar, Ibnu. 2011. Bulughul Maram : Kitab Hadist Populer Dalam Bidang Fikih, Akhlaq, dan Keutamaan Amal Ibadah. Bandung : Sygma Publising
- Sudarsono Heri, 2007. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonisa ; Jogjakarta
- Yusanto Yunus dan Yunus Arif, 2009 Pengantar Ekonomi Islam, Al-Azhar Press:Bogor
iki tesis e pean ta bang?
BalasHapus